MISKIN ALA BOB SADINO



Ada power dalam kemiskinan,
seperti magma yang bergejolak di dalam gunung berapi

Memilih Miskin, itulah hal konyol yang diambil oleh Bambang Mustari Sadino yang akrab disapa dengan Bob Sadino. Beliau lahir di Tanjung Karang, Lampung, 9 Maret 1933. Pekerjaan Ayahnya sebagai pegawai pemerintah (kepala sekolah) pada masa pemerintahan Hindia Belanda, membuat kehidupan dan lingkungan pergaulan yang lebih baik jika dibandingkan dengan anak-anak pribumi lainnya. Kehidupan yang relatif mapan terus ia nikmati sampai beranjak remaja, setelah lulus SMA tahun 1953, Bob bekerja di Unilever, dan berhenti beberapa bulan karena mengikuti jejak teman-temannya mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tidak betah dalam bangku perkuliahan yang berkutat pada teori-teori, Bob memutuskan untuk kembali ke Unilever selama beberapa tahun. Hingga akhirnya Bob memutuskan untuk bekerja di pelayaran dan ekspedisi Djakarta Llyod ( McLain & Watson Coy). Pekerjaan ini membuat Bob melalang buana, dan Eropa adalah benua yang paling sering disinggahi, namun, lagi-lagi Bob menjalani kehidupan yang relatif berkecukupan. Dengan besaran gaji di Eropa, ketika siang Bob bekerja dan malamnya dihabiskan dengan pesta dan dansa-dansa, begitu-begitu saja, terus menikmati hidup.
Kecukupan hidup inilah menjadikan pertentangan dalam batin Bob, seringkali perintah dari atasan membuatnya merasa tertekan. Karena rasa bosan dan jenuh inilah Bob keluar dari pekerjaannya dan meninggalkan semua fasilitas dan kenyamanan hidup yang ia miliki. Ia kembali ke Jakarta dan memulai kembali hidupnya dari nol. “Saya mau miskin ah..” ujar Bob dengan nada seriusn.
Karena pilihan hidup inilah Bob harus menjalani siksaan kehidupan. Demi menyambung hidup Bob memanfaatkan mobil hasil kerja di Eropa sebagai supir taksi gelap di Jakarta, namun karier taksi itu harus berhenti karena taksi itu tertabrak, rusak dan tak ada dana untuk servis. Akhirnya Bob, menjalani pekerjaan serabutan  seperti kuli bangunan dengan upah seratus rupiah perhari. Disnilah ia merasakan arti kemelaratan sesungguhnya, makan cuma pakai lauk ikan asin, kadang harus memancing ikan di rawa-rawa, atau makan dengan lalapan saja. Bahkan untuk dapat tetap merasakan kenikmatan merokok Bob harus mengumpulkan puntung-puntung rokok dan memilinnya kembali menjadi rokok.
Teman-teman sepergaulannya di Eropa dan kakak-kakaknya mendengar kabar ini, menjadi sangat prihatin, merasa gerah dan memaksa untuk memberikan bantuan “ Daripada kamu menadi kuli bangunan, dan memalukan keluarga, kamu tinggal sebut saja perlu rumah kayak apa ? perlu uang berapa? Kamu perlu bantuan apa? ”. Namun, dengan tegas, penuh kesadaran ia menyatakan untuk tetap bebas tanpa pengaruh dan kendali siapapun dengan memberikan jawaban “ Satu-satunya bantuan yang saya perlukan adalah jangan bantu saya, saya terlampau lama hidup dalam kemanjaan”. Ketegasan Bob inilah yang menjadikan orang-orang merasa jengah dan memilih untuk menyingkir, dan Bob terus mencari celah untuk mengubah kehidupannya.
Suatu ketika, mata Bob tertuju pada perbedaan antara telur ayam lokal dan telur ayam negeri. Ia juga merasakan adanya peluang untuk memasarkan telur itu disekitar rumahnya yang sejak dulu banyak dihuni kaum ekspatriat. Berbekal beberapa puluh anak ayam yang dikirimkan sahabatnya di Belanda, Bob merajut peruntungannya, meski tanpa pengetahuan tentang beternak ayam, ia meyakini bahwa informasi dan pengetahuan itu bisa didapatkan dengan mudah dari majalah-majalah kejuruan terbitan Belanda. Kepercayaan diri Bob ini pun terbukti dengan berkembangnya anak ayam dan menghasilkan telur-telur untuk dijual.
Titik gemilang Bob dimulai dengan mengayunkan kaki sendiri menjual telur ayam negeri dari pintu ke pintu. Istrinya membawa dua kilo telur, sementara Bob membawa tiga kilo telur. Usaha menyambung hidup yang tidak mudah inipun mulai dirasakan manisnya. Sedikit demi sedikit pelanggan telur ini semakin bertambah.  Melihat peluang yang semakin besar, kemudian Bob memanfaatkan teras dan garasi untuk membuka toko Kemchicks, produk yang dijual semakin beragam dan juga sebagai kibaran atas suksesnya Bob Sadino.
Mengenang riwayat kemiskinannya, bagi Bob penolakan atas tawaran bantuan itu merupakan wujud kemerdekaannya, merdeka dalam pilihan dan sikap awal dari perubahan apapun, termasuk awal perubahan bagi kehidupan wiraswastanya. Ternyata ketika tidak mempunyai uang dan sudah berkeluarga, ada power dalam kemiskinan seperti magma yang sedang bergejolak di dalam gunung berapi. Saat melangkah untuk memiskinkan diri, sejatinya Bob telah “mengosongkan gelas kehidupannya” . ia harus mengosongkan gelasnya untuk menerima isi-isi baru, pengalaman baru, dan berbagai variasi kehidupan. Kalau saja tidak ada pilihan untuk jadi miskin, maka mungkin saja tidak akan pernah ada kehidupan sebagaimana Bob sekarang ini.






SUMBER BACAAN
Edy Zaques, Bob Sadino Mereka Bilang Saya Gila! , PT Ikrar Mandiriabadi, Bekasi : 2009








Komentar

Postingan Populer