Abah dari Cidokom



a.    Biografi K.H Encep Ismail



K.H Encep Ismail adalah salah satu dari sekian banyaknya Kyai di daerah terpencil yang mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT. Salah satu cara yang ditempuh beliau dalam menyampaikan dakwah nya kepada orang banyak adalah melalui Pendidikan Islam
K.H Encep Ismail atau yang biasa disapa dengan sebutan Abah, adalah anak bungsu dari 11 bersaudara dari pasangan H. Bakri dan Hj. Royi. Abah lahir di Cisarua, 6 Juni   1964. Sejak lahir anak-anak dari Ibu nya Abah satu persatu lebih dulu dipanggil menghadap Allah SWT. Untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi pada Abah, Abah dibawa dan diberi nama oleh K.H Adang yang juga menjabat sebagai Lurah saat itu. Nama pemberian ini diharapkan dapat memanjangkan umur Abah.
Abah berasal dari keluarga yang sederhana, orang tua Abah hanya bekerja sebagai pedagang gorengan. Namun, pekerjaan orang tua Abah ini tidak membuatnya malu dan berputus asa dalam mendalami ilmu agama. Ketika duduk dibangku kelas 3 sekolah dasar, Abah memilih untuk melanjutkan sekolahnya di Pondok Pesantren Riyadhul Mubarokah yang berada di daerah Banten, karena pilihan inilah yang membuat Abah tidak menamatkan sekolah dasarnya.
Perjuangan Abah mendalami ilmu di Pondok Pesantren, bukanlah hal yang mudah. Biaya Pondok Pesantren yang hanya didapatkan dari menjual gorengan, serta fasilitas pondok pesantren yang kurang memadai, tetapi hal ini tidak pernah menyurutkan semangat Abah, Abah tetap melakoni pendalaman ilmu agama selama 10 tahun.
Pada tahun 1987 , sepulang dari Banten Abah sudah menikah dengan Dioh yang lebih akrab dengan sebutan Umi. Umi adalah anak dari pasangan Dzul Salim dan Masithoh.  Setelah menikah Abah berniat untuk melanjutkan pesantren lagi di Banten. Tetapi Allah SWT berkehendak lain, kakak nya Abah yang bernama K.H Damanhuri yang merupakan seorang Kyai yang memiliki pesantren ini meninggal dunia karena sakit yang dialaminya.
Tidak pernah terbesit dalam benak Abah untuk membuka ataupun memiliki pondok pesantren, namun Abah tidak ingin ilmu agama nya menjadi sia-sia, dan pondok pesantren sepeninggal kakaknya terputus begitu saja karena kakaknya sudah terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Akhirnya Abah pun memutuskan untuk  menetap di Kampung halamannya yaitu Cidokom.
Dari hasil pernikahan Abah dan umi, mengasilkan lima orang anak yang tampan dan cantik. Anak pertama bernama Enday Abdul Mubarok, kedua Achmad Zaenal Abidin, ketiga Achmad Jamalulael, keempat Eneng Habibatusholihah, dan terakhir Wildiyaningsih Putri Pamungkas.  Kelima anak Abah ini mempunyai sifat dan karakter yang berbeda-beda.
Kang Enday, begitu panggilan akrab anak pertamanya yang sangat menyukai habib-habib dan dunia pesantren, kecintaannya pada ilmu agama dibuktikan dengan menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ibtida, Parung Sapi Jasinga. Kang Zenal, yang merupakan anak kedua ini mempunyai karakter yang lebih pendiam dari saudara-saudaranya. Komeng, yang tidak lain anak ketiga dari Abah ini memiliki karakter yang tidak bisa diam, satu-satunya anak yang kuliah di keluarganya, ia berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Eneng, merupakan anak perempuan pertama Abah yang kini sudah mempunyai keluarga kecil yang berbahagia. Dan Wildi, yang merupakan anak bungsu dari lima bersaudara ini, kini melanjutkan pendidikannya di Pesantren Alhikmah Nurul Tarbiyatul Falah Alafandiah.
Dalam kesehariannya Abah dikenal sebagai sosok yang tegas, santai dan sangat sabar.  Karena karakter Abah inilah sehingga Abah banyak disukai dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Kesenangan masyarakat pada Abah terbukti pada tahun 2000, H.Ading yang merupakan tokoh masyarakat mengusulkan untuk memberangkatkan Abah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Usulan ini disambut baik oleh masyarakat, tanpa sepengetahuan Abah, warga berkumpul di madrasah dan membuat majlis yang tidak lain untuk membicarakan keberangkatan Abah. Musyawarah ini berlangsung selama 1 jam, dan akhirnya semua warga sepakat untuk memberangkatkan Abah.
Setelah berakhirnya musyawarah, Abah diundang untuk mengahdiri majlis dan Abah diberitahu mengenai rencana masyarakat untuk memberangkatkan  Abah menunaikan ibadah haji. Abah  yang telah begitu lama mendambakan menunaikan ibadah haji ini, tidak kuasa menahan air matanya sebagai bentuk rasa syukur dan bahagianya. Keberangkatan Abah ini merupakan hasil dari sumbangan warga, ada yang menyumbang Rp. 50.000 hingga Rp. 1.000.000.
Tepat tahun 2001, Abah berangkat ketanah suci untuk memenuhi panggilan Allah SWT dengan bermodalkan uang Rp. 200.000 yang didapatkan dari hasil penjualan sayur sawi. Keberangkatan Abah pada pukul 24.00 ini diantarkan oleh hampir semua masyarakat. Peristiwa mengharukan inilah yang menjadikan Abah begitu sangat menyayangi masyarakat, tidak pernah memandang sebelah mata terhadap siapapun. Abah juga selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bersikap tenang, melihat segala sesuatu dari segi manfaat, sisi positif ,sisi keindahan untuk dijadikan pelajaran kehidupan dan tidak melihat segala sesuatu dari segi materi karena segala sesuatu yang bernilaikan materi bukanlah tujuan hidup sebenarnya.

b.    Kontribusi dalam bidang Pendidikan
Sepeninggal mendiang kakaknya, Abah mengubur keinginannya untuk menekuni ilmu di pesantren. Abah memilih untuk melanjutkan Pondok Pesantren peninggalan kakak nya, dan Madrasah yang dibangun bersama masyarakat sekitar. Pondok Pesantren ini bernama Attarbiyah Ibnul Marsyadi dan Madrasah nya bernama Diniyah At-Takmiliyah Awaliyah Tarbiyatussibyan, Pondok Pesantren  dan Madrasah ini terletak tidak jauh dari rumah Abah, yaitu di Kp. Cidokom Rt 01/11 Desa Kopo Kec. Cisarua Kab.Bogor.
Menurut Abah, melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, dikhawatirkan kita sebagai umat Islam terbawa arus zaman sehingga melupakan hakikat hidup yang sebenarnya, karena itulah pendidikan Islam sangatlah penting. Abah menambahkan seorang Kyai berinteraksi bukan hanya kepada santrinya saja, tetapi juga berinteraksi dengan banyak kalangan lainnya, dan pendidikan merupakan perantara komunikasi dalam menyebarkan dakwah Islam. Selain itu, Pendidikan Agama Islam bukan hanya bagaimana cara seseorang berinteraksi dengan manusia  saja melainkan cara seseorang untuk berinteraksi dengan Allah SWT dan hanya mengharapkan ridho dari-Nya.
Madrasah Diniyah At-Takmiliyah Awaliyah Tarbiyatussibyan dibangun  atas kepentingan masyarakat bersama, karena masyarakat merasakan begitu besar pengaruhnya pendidikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dari  hasil uang masyarakat yang rutin dikumpulkan seminggu sekali. Madrasah ini memiliki cita-cita untuk “Mewujudkan Generasi Anak-anak yang Taat pada Peraturan Allah SWT dan Generasi yang Berakhlaq Mulia”. 
Madrasah ini, tidak berbeda jauh dengan madrasah lainnya seperti adanya rapot sebagai hasil prestasi murid, kenaikan kelas, dan perpisahan. Yang membedakan madrasah ini dengan sekolah pada umumnya  adalah kurikulum pendidikannya yang lebih mengutamakan pendidikan Islam. Sedangkan pendidikan umum para murid bisa bersekolah di sekolah umum pada pagi harinya. Waktu bersekolah di madrasah dari pukul 13.00-16.30 WIB. Hari liburnya pun berbeda dengan sekolah pada umumnya, Madrasah ini mengikuti kalender hijriah sehingga para murid libur pada hari Jum’at .
Dalam bidang administrasi, Madrasah ini memungut biaya Rp. 6000,- setiap bulan yang digunakan untuk membayar para guru. Guru di madrasah ini pun tidak lain adalah keponakan, dan anak-anaknya sendiri, yaitu M. Iyus Setyawan, Laelatul Rahmat Elfansyah, Achmad Jamalulael, dan M. Deniawan. Dalam bidang kurikulum, Madrasah ini membagi pelajarannya menjadi dua kelas, yaitu kelas Awaliyah  dan kelas 1sampai kelas 4. Berikut beberapa pelajarannya :
a.       Kelas Awaliyah
·         Praktek Ibadah Shalat
·         Membaca dan menulis Bahasa Arab
·         Menghafal surah pendek Alqur’an
·         Menghafal doa sehari-hari
·         Aqidah Akhlak


b.      Kelas 1-4
·         Praktek Ibadah Sholat Wajib dan Sholat Sunnah
·         Hafalan doa sehari-hari
·         Hafalan surah-surah pendek Alqur’an
·         Al’arobiyah
·         SKI ( Sejarah Kebudayaan Islam )
·         Aqidah Akhlaq
·         Fiqh
·         Tausil
·         Imla
·         Tasnul Khot

Berbeda dengan Madrasah, Pondok Pesantren Attarbiyah Ibnul Marsyadi  yang merupakan pengembangan dari Abah ini murni menggunakan uang milik Abah. Dalam pengembangan pesantren Abah tidak mau menggunakan uang bantuan orang lain, karena ditakutkan uang bantuan itu tidak berkah. Dalam pesantrennya Abah tidak memungut biaya sepersen pun, karena tujuan dari Pesantren ini semata-mata hanya untuk mengharap ridho Allah SWT. Akan tetapi, para santri berinisiatif untuk menyumbang seikhlasnya yang dikordinir oleh Roisul Ma’had  sekedar untuk biaya listrik. Biaya patungan persantri minimal sepuluh ribu bagi yang mampu. Waktu belajar di pondok ini dibagi menjadi tiga bagian,  yakni :
-          Dimulai pada pagi hari pukul 08.00-10.00,
-          Dilanjutkan siang hari 14.00-16.00,
-          Dan pada malam hari sehabis maghrib – 21.30
Metode yang diajarkan kepada santrinya pun masih sangat sederhana, karena Abah menerapkan sistem guru-gurunya yang terdahulu. Abah mengikuti metode salafi di kampung pada umumnya, seperti hafalan, muhadhoroh, sorogan ( setoran hafalan), mengaji kitab kuning, dll. Pondok Pesantren ini mempunyai acara rutin yang dilaksanakan setiap tahunnya seperti, Maulid Nabi, Rajaban, Milad Pondok Pesantren, dan Pengajian Bulanan yang rutin diadakan setiap bulannya ditempat para alumni Ponpes Attarbiyah.
Dalam keseharian para santri pun diajarkan hidup mandiri dan bergotong royong. Dengan cara kerja bakti membersihkan kamar, membersihkan pondok pesantren, dan memasak makanan bersama-sama didapur yang telah disiapkan. Walaupun tidak jarang Abah dan Umi memberikan makanan untuk para santri.
Inilah pendek-panjangnya cerita kehidupan Kyai dari Cidokom yaitu K.H. Encep Ismail. Semoga cerita kehidupan dan perjuangan Abah dalam mengabdikan hidupnya untuk Pendidikan Islam dapat memberikan motivasi kepada kita untuk melanjutkan perjuangannya, mengabdi di jalan Allah SWT.



Komentar

Postingan Populer