POLIGAMI
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Agama Islam adalah agama yang sempurna dari segala keseluruhannya,
karena Islam telah mengatur semua hal sedemikian rupa. Kita tidak hanya wajib
memahami ajaran Islam dalam hal ibadah, tapi kita juga harus memahami dalam hal
munakahatnya.
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita apa itu pernikahan,
memberi mahar, perjanjian nikah, poligami dan lain-lainnya. Tapi banyak
diantara kita yang kurang memahami detailnya pernikahan. Maka untuk makalah
kali ini kami akan membahas “ Perjanjian Nikah dan Poligami ”.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Memenuhi tugas makalah fiqh yang diberikan Bapak Rusydi Jamil M.ag
C.
TUJUAN
UMUM
1.
Mengetahui dan
memahami perjanjian nikah
2.
Mengetahui dan
memahami menikah saat hamil
3.
Mengetahui dan
memahami poligami
4.
Mengetahui dan
memahami hikmah dilarang nikah lebih dari empat
BAB
2
PEMBAHASAN
- Perjanjian Pernikahan
Perjanjian pernikahan adalah persetujuan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu sebelum pernikahan berlangsung, dan
kedua calon mempelai saling berjanji tidak akan melanggar persetujuan itu yang disahkan oleh pencatat nikah
Perjanjian nikah mempunyai syarat dan para
ulama sepakat bahwa syarat yang diajukan calon istri atau calon suami harus dipenuhi
jika ingin akad terjadi, dengan syarat
tidak bertentangan dengan tujuan syari’at islam atau hakikat perkawinan. Isi
perjanjian nikah tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an, syarat yang
bertentangan dengan syari’at tidak perlu diikuti, pernikahan itu tetap sah tapi
perjajian itu menjadi batal.
Rasulullah bersabda :
كل شر ط ليس في
كتب الله فهو باطل و ان كان مائة شرط
Artinya : Segala syarat yang tidak terdapat
dalam kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat.
Menurut UU No.
1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam perjanjian pernikahan merupakan suatu kesepakatan bersama bagi calon
suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah, tetapi
jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan tersebut
maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu
juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan
tersebut.
Macam-macam perjanjian menurut Kholil Rohman :
- Syarat yang
menguntungkan istri, seperti tidak poligami.
- Syarat yang
bertentangan dengan maksud akad itu sendiri seperti tidak ada hak
waris-mewarisi dari suami atau istri.
- Syarat yang
bertentangan dengan syariat seperti pindah agama.
- Bentuk-bentuk
Perjanjian Pernikahan
Sebelum dilangsungkan
pernikahan, calon mempelai membuat perjanjian, bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum, yaitu:
Pasal 45
Kedua calon mengadakan perjanjian
dalam bentuk:
1.
Taklil Talak
Taklik talak adalah suatu talak
jatuhnya digantungkan pasa suatu syarat.
Talak terjadi terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian.
2.
Perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 46
1.
Isi taklik-talak tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam
a. Apabila
keadaan yang diisyaratkan dalam taklik-talak betul-betul terjadi kemudian,
tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri
harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama
b. Perjanjian
taklik-talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik-talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
1.
Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2.
Perjanjian tersebut dalam ayat (1)
dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
3.
Di samping ketentuan dalam ayat (1)
dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1.
Apabila dibuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga.
2.
Apabila dibuat perjanjian
perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap
terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1.
Perjanjian percampuran harta
pribadi dapat meliputi semua harta harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam
perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.
Dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi
yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini
tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau
sebaliknya.
Pasal 50
1.
Perjanjian perkawinan mengenai
harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal
dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2.
Perjanjian perkawinan mengenai
harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami-istri dan wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan.
3.
Sejak pendaftaran tersebut,
pencabutan telah mengikat kepada suami-isteri tetapi terhadap pihak kertiga,
pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami-isteri
dalam suatu surat kabar setempat.
4.
Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan
pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya
gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
5.
Pencabutan perjanjian perkawinan
mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya
dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian
perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau
mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan
dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.[1]
- Hukum Nikah saat Hamil
Yang dimaksud dengan “kawin
hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang sedang hamil di luar
nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki
bukan yang menghamilinya.[2]
Para pakar hukum Islam dan
Ahli Hukum Fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkan
kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan yang mengawininya
itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil yang seperti ini tidak
menyebabkan haramnya dikawini. Kebolehan wanita yang sedang hamil dinikahi oleh
laki-laki yang menghamilinya, oleh para Ulama didasarkan kepada alasan bahwa
keduanya adalah pezina. Al-Qur’an surat an-Nuur ayat 3 menegaskan:
وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ {3}
Artinya : “ Dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)[3]
Dalam hukum yang berlaku di
Indonesia, masalah nikah hamil dijumpai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53
menyebutkan:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Kompilasi Hukum Islam nampaknya
hanya mengatur perkawinan wanita hamil di luar nikah. Tidak mengatur perkawinan
wanita hamil yang legal dari suami yang nikah secara sah, yang kemudian cerai
atau meninggal sesuai dengan An-Nuur: 3. Abdur Rahman Ba’alawy mengatakan:
يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء
الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة
Artinya : “Boleh menikahi wanita yang hamil
dari zina baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan dan menggaulinya
di waktu hamil disertai hukum makruh”.[4]
Dari adanya perbedaan pendapat
dalam masalah tersebut maka pendapat yang berkembang sekitar status hukum
mengawini perempuan hamil karena zina adalah sebagai berikut:
- Abu
Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini perempuan
hamil karena zina hukumnya adalah boleh, namun si suami tidak boleh
menghamili istrinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya.
Dasar
kebolehannya adalah karena tidak adanya dalil yang menyatakan keharamannya,
sedangkan dasar tidak bolehnya menghamili perempuan tersebut waktu hamil adalah
supaya tidak menumpah air (sperma) di tanam di (rahim) orang lain yang dilarang
berdasarkan hadits Nabi saw yaitu:
وقال الجمهور الحنفية: يجوز
الزواج بلمزنى بها
“Menumpahkan air di tanaman
orang lain dan larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan
anaknya”.[5]
- Imam Abu
Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila
dikawinkannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman
Allah:
الزَّانِي
لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ
إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Maksud
ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman menikah dengan seorang wanita yang berzina. Demikian
pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pastas kawin dengan pria yang
berzina.[6]
- Imam Malik
berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah
seperti itu adalah batal. Alasannya adalah:
و
قال الملكية : لا يجوز العقد على الزانية قبل استبرائها من الزنا بحيضات ثلاث او
بمضي ثلاثة اشهر
bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun tidak
dengan melahirkan tetapi dengan 3 kali suci sesudah melahirkan; karena iddah
melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinisbahkan kepada ayahnya sedangkan
anak zina tidak dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamilinya.[7]
Terjadinya wanita hamil diluar nikah
(yang hal ini sangat dilarang oleh agama, norma, etika dan perundang-undangan
Negara), selain karena adanya pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuhnya)
iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan
yang keji dan terlarang itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum
semakin diperlukan.[8]
- POLIGAMI
1.
Sejarah Poligami
Kata “Poligami” terdiri dari kata
“Poli” dan “Gami”. Secara etimologi, poli artinya “Banyak” dan gami artinya
“Istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,
poligami yaitu “Seseorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.
Atau,”Seseorang laki-laki beristri lebih dari seseorang,tetapi dibatasi paling
banyak empat orang”.
Allah membolehkan berpoligami sampai
empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam
melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan
segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu
istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.
Artinya : Dan jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Poligami di kalangan orang-orang Barat seperti yang digambarkan
diatas merupakan perilaku hidup yang tidak diatur oleh undang-undang. Mereka
tidak menamakan wanita yang dikumpulinya sebagai isteri, tetapi mereka
menamakannya sahabat atau pacar (teman kencan). Mereka tidak membatasi hanya
empat orang,tetapi sampai batas yang tak terhitung. Mereka tidak
berterus-terang kepada keluarganya, tetapi melakukan semuanya secara
sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mau bertanggung jawab atas biaya untuk para
wanita yang pernah dijalininya, bahkan seringkali mengotori kehormatannya,
kemudian ia tinggalkan dalam kehinaan dan memikul beban sakitnya mengandung dan
melahirkan yang tidak halal.[9]
Ketika Islam datang, poligami tanpa batas tidak dibenarkan.
Poligami bukanlah suatu kewajiban, juga bukan suatu hal yang sunnah, tetapi
adalah hal yang mubah. Banyak umat-umat
dan agama-agama terdahulu yang membolehkan menikahi wanita lebih dari satu,
berpuluh-puluh bahkan lebih tanpa adanya persyaratan apapun. Ketika Islam
datang, Islam memberi syarat-syarat bagi yang ingin berpoligami karena poligami
ini dikhawatirkan memberi kerugian pada pihak wanita.
2.
Sebab-sebab Poligami
Poligami adalah salah satu solusi
dalam ajaran Agama Islam terhadap kelebihan jumlah wanita dibelahan dunia, dan
berbagai factor, diantaranya:
a.
Kelebihan jumlah wanita
b.
Wanita yang mandul dan sakit
c.
Adanya golongan laki-laki yang memiliki dorongan seksual besar (hypersex)
3.
Prosedur poligami
Mengenai Prosedur atau tata cara
poligami yang resmi diatur oleh islam memang tidak ada ketentuan secara pasti.
Namun, di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut
sebagai berikut:
PASAL 56
1)
Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.
2)
Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975.
3)
Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hokum.
PASAL 57
Pengadilan Agama hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beistri lebih dari seorang apabila:
- Istri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
- Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
PASAL 58
1)
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama,harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu:
a.
Adanya persetujuan istri.
b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup-istri-istri dan anak-anak mereka.
2)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975,persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan
secara ertulis atau dengan lisan,tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulisa, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada
sidang Pengadilan Agama.
3)
Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
PASAL 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan
persetujuan , dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
4.
Alasan Wanita Menolak Poligami
Banyak dari kaum perempuan yang
menolak poligami dengan berbagai alasan, diantaranya :
a.
Merasa direndahkan, dihinakan oleh suaminya.
b.
Merasa habis manis sepah dibuang.
c.
Merasa dikhianati.
d.
Merasa terusik dengan adanya orang ketiga.
5.
Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan
berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain
adalah sebagai berikut :
b.
Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
d.
Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
6.
Hikmah dilarang nikah lebih dari empat
Allah Yang Maha Bijaksana
memperbolehkan seseorang untuk menikah satu,dua sampai empat wanita, dengan
syarat dia mampu untuk berbuat adil. Allah melarangnya kawin lebih dari empat
karena melebihi batas jumlah itu akan mendatangkan aniaya seperti yang telah
diketahui dengan jelas. Seorang tidak mungkin mampu untuk menahan diri dari
perbuatan aniaya tersebut meskipun telah mempunyai pengetahuan dan ilmu banyak.
Namun larangan itu tidak berlaku untuk Nabi S.A.W, karena beliau adalah manusia
yang terjaga dari kesalahan dan tidak pernah menyalahi Al-Qur’an dalam segala
keadaan.
Jadi singkatnya, hikmah dilarangnya
nikah lebih dari empat istri (bagi manusia biasa) adalah:
- Batas
maksimal beristri bagi manusia biasa adalah empat istri. Jika melebihi
empat istri berarti melebihi batas kemampuan, baik dari segi kemampuan
fisik, mental, maupun tanggung jawab, sehingga nantinya akan repot
sendiri, bingung sendiri , dan akhirnya akan menimbulkan gangguan kejiwaan
(stress).
- Karena
malampaui batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan kezaliman
(aniaya), baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap istri-istrinya.
- Manusia biasa
pada umumnya didominasi oleh nafsu syahwatnya, yang cenderung melakukan
penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan untuk
memberikan hak-haknya kepada istri-istrinya.
BAB
3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pernikahan adalah salah satu sunnah yang dianjurkan dalam agama Islam, karena pernikahan dapat
menjauhkan kita dari perbuatan maksiat. Sebelum pernikahan dilangsungkan calon
mempelai boleh melakukan perjanjian dengan syarat perjanjian itu tidak
melanggar aturan Islam.
Islam pun membolehkan laki-laki untuk menikah lebih dari satu
dengan batas maksimal empat. Poligami hanya boleh dilakukan bagi laki-laki yang
dapat berlaku adil dan tidak menelantarkan hak-hak dari setiap istri.
Untuk lebih memahami secara rinci tentang pernikahan, kita bisa
membaca dari berbagai sumber, jadi tidak hanya mengandalkan makalah ini.
B.
SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
Perjanjian nikah dan Poligami.
DAFTAR PUSAKA
Ghozali Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: kencana, 2012
Hasan M.Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Jakarta: grafindo
persada, 1996
Rifa’I Moch, Percikan Hidayah, Jakarta: Citra Harta Prima,
2007
[1]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fikh Munakahat, (Jakarta: kencana,
2012), hal. 120-124
[2]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fikh Munakahat, (Jakarta: kencana,
2012), hal. 124
[3]
M. Ansyari , Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), Cet. I, hal. 58-59
[4]
Abdur Rahman Ba’alawy, Bughiyatul Mustarsyidiin, (Lebanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2009), hlm. 249
[5]
Wahbah Zuhaily, Al- Fiqhu Al-Islamiyy Wa Adilatuhu, (Damaskus:
Darul Fikr, 2008), hal. 154
[6]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fikh Munakahat, (Jakarta: kencana,
2012), hal. 125-126
[7]
Wahbah Zuhaily, Al- Fiqhu Al-Islamiyy Wa Adilatuhu, hlm. 156
[8]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fikh Munakahat, (Jakarta: kencana,
2012), hal. 128
[9]
M.ali hasan,masail fiqhiyah al-haditsah,(Jakarta:pt. raja grafindo
persada,1996)hal. 17-19
Komentar