JENAZAH

BAB 1
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
            Agama Islam sebagai agama yang komperensif yang telah lengkap ajarannya yang dibawakan Rasulullah SAW. Dan wajib untuk kita umatnya mengikuti ajaran yang telah dibawanya salah satunya berhubungan dengan hal ibadah. Ibadah tidak hanya kepada Allah SWT. tetapi juga bagaimana muamalah kita kepada manusia. Salah satunya Rasulullah SAW. telah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya bermuamalah kepada manusia baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Rasulullah SAW. telah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya mengurus saudara/i muslim kita yang telah meninggal dan juga bagaimana kewajibannya mengurus jenazah saudara/i muslim kita. Tapi pada kenyataannya pada saat ini umat islam kurang mengetahui dan kurang antusias dalam pengurusan jenazah. Padahal hukum mengurus jenazah, dari memandikan sampai menguburkan hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu kami sebagai penyusun ingin sedikit menjelaskan dan memaparkan bagaimana caranya pengurusan jenazah dan memandikan sampai menguburkan juga dalam takziah dan ziarah. Oleh karena itu kami mengangkat tema dan judul tentang “Bagaimana Pengurusan Jenazah”.

B.  RUMUSAN MASALAH
     Memenuhi tugas makalah fiqh yang diberikan oleh Bpk. Rusydi Jamil M.ag.

C.  TUJUAN UMUM
1.      Mengetahui dan memahami tentang pengertian dan hukum penyelenggaraan Jenazah
2.      Mengetahui dan memahami tentang tata cara pengurusan jenazah
3.      Mengetahui dan memahami tentang pengertian dan hukum takziah
4.      Mengetahui dan memahami tentang ziarah kubur dan hikmahnya


BAB 2
PEMBAHASAN

1.    Pengertian dan Hukum Penyelenggaraan Jenazah
Setiap manusia yang bernyawa pasti akan mengalami kematian tetapi bukan kematian yang menjadi masalahnya akan tetapi bagaimana kita sebagai umatnya mempersiapkan bekal di akhirat nanti agar kita menjadi hambanya yang selamat dari siksa kubur dan juga siksaan di neraka.
Allah SWT. juga mengingatkan kepada hambanya, bahwasannya setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, sesuai dengan firmannya :
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ {ﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻥ׃١٨٥}
Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S Al-Imran : 185)

2.    Tata Cara Pengurusan Jenazah
A.  Memandikan Jenazah
Jumhur ulama atau golongan terbesar dari ulama berpendapat, bahwa memandikan mayat muslim hukumnya adalah fardhu kifayah artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf. Hal itu ialah berdasarkan perintah dari Rasulullah SAW.[1]
Syarat wajib mandi yaitu: (1)Seorang muslim, (2)masih ada bagian dari tubuhnya, (3)dan dia bukan seorang yang mati syahid (mati dalam keadaan perang di jalan Allah).
Sesuai dengan perkataan imam Syafi’i ”kami mendapat berita bahwa diwaktu perang berunta seekor burung menjatuhkan sepotong tangan manusia di mekkah[2]. Tangan itu dapat mereka kenali dengan cincin maka tangan itu mereka mandikan dan shalatkan dan hal itu adalah di depan para sahabat“.
Orang yang mati syahid itu tidak dimandikan walau ia dalam keadaan junub sekalipun[3]. Ia dikafani dengan pakaian yang baik untuk kain kafan, ditambah jika kurang, sebaliknya dikurangi jika berlebih dari tuntunan sunnah, lalu dimakamkan dengan darahnya tanpa dibasuh sedikitpun. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : “Janganlah kamu memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada hari kiamat.”
Dan beliau menyuruh agar para syuhada dari perang uhud dikuburkan dengan darah mereka tanpa dimandikan dan di shalatkan.
Memandikan jenazah itu pada intinya menyiramkan air ke sekujur tubuh mayat, tak ada bagian sedikitpun yang tidak terguyur air, sampai bagian lipatan sekalipun, seperti alat kelamin anak yang belum khitan, vagina wanita yang menjorok ke dalam.
Cara Memandikan Jenazah :
Ø jenazah diangkat dengan hati-hati ke tempat mandinya. Tempat itu hendaklah tertutup, sehingga tidak terlihat oleh orang yang tidak bertugas memandikannya. Yang paling baik memandikan jenazah ialah keluarganya sendiri dan dibantu oleh orang lain, tidak perlu banyak orang, secukupnya saja. Jenazah yang dimandikan itu diletakkan ditempat yang agak tinggi, agar tidak terkena cipratan air bekas.
Ø buka kain penutup badan jenazah itu dan beri kain mandi (basahan) sehingga aurat utamanya (kemaluannya) tertutup rapi.
Ø berniat di dalam hati hendak memandikannya, memenuhi fardhu kifayah, dengan membaca “Bismillahirrahmaanirrahim”.
Ø Siram jenazah itu dengan air yang telah dipersiapkan. Disunnahkan memulai dari arah kepala jenazah dan terus ke kaki. Lalu, diberi sabun secara merata sambil digosok-gosok dengan hati-hati sehingga kotorannya terbuang.
Untuk menggosok bagian kanan jenazah dimiringkan ke kiri. Berhati-hatilah menahan jenazah yang dimiringkan, agar dia tidak terlentang dengan tiba-tiba, karena hal demikian kurang menghormatinya. Setelah selesai bagian kanannya, maka dimiringkan ke kanan, sehingga bagian kirinya dapat dogosok pula. Setelah selesai ditelentangkan dengan perlahan-lahan, barulah disiram secara merata, sehingga air membasahi seluruh badannya dan kotoran hanyut dibawa air. Demikian dilakukan, sebaiknya tiga kali.
Dalam riwayat yang shaheh, Nabi bersabda: “Mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota wudhu”.
Dari sabda Rasulullah ini nyatalah bahwa bila dirasa jenazah itu agak busuk, sebaiknya air mandinya diberi kapur barus dan lain-lain yang cepat mengurangi bau busuknya. Tetapi air yang dipakainya ini, hanyalah sekedar menghilangkan baunya saja, bukanlah dalam memandikan dalam arti yang sebenarnya, karena air itu bercampur dengan zat suci yang lain. Sesudah air ini disiramkan, maka barulah disiramkan air mutlak, sebagai air mandinya.
Ø Bila bersih tubuhnya, maka kita wudhukan, seperti berwudhu untuk sholat. Bila dirasa akan keluar kotoran dari tempatnya maka seharusnya disumbat dahulu dengan kapas, seperlunya saja.
Ø Setelah selesai memandikan, maka kain ditukar dengan yang bersih dan kering. Diangkat bersama-sama ke tempat mengkafaninya.

B.  Mengkafani Jenazah
Hukumnya mengkafani Jenazah dengan apa saja yang dapat menutupi tubuhnya walau hanya sehelai kain, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab r.a. yang artinya:
“Kami hijrah bersama Rasulullah saw. Dengan mengharapkan keridhaan Allah swt. Maka tentulah akan kami terima pahalanya dari Allah swt. Karena diantara kami ada yang meninggal sebelum memperoleh hasil duniawi sedikitpun. Misalnya Mas’ab bin Umair, ia tewas terbunuh di perang uhud dan tak ada buat kain kafannya kecuali selembar kain burdah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya, dan jika kakinya ditutup maka tersembul kepalanya. Maka nabi saw. Menyuruh kami buat menutupi kepalanya, dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya[4]”.
Hal-hal yang diutamakan dalam mengkafani jenazah :
1.    Kain kafan hendaknya bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh.
2.    Hendaknya kain kafan berwarna putih.
3.    Hendaknya diberi wangi-wangian.
4.    Bagi laki laki hendaklah tiga lapis, sedangkan wanita lima lapis.
            Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, yang artinya : “Nabi SAW, dikafani dengan tiga helai dengan kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan sorban”.
Makruh hukumnya jika berlebih-lebihan dalam kain kafan. Hendaklah kain kafan itu kain yang bagus tetapi tidak terlalu mahal harganya atau sampai seseorang memaksakan sesuatu yang diluar kemampuannya. Juga diharamkan bagi laki-laki dikafani dengan kain yang berbahan sutra, namun bagi wanita diperbolehkan.
Jika seseorang meninggal dan meninggalkan harta, maka biaya mengkafaninya diambil dari hartanya itu. Jika dia tidak berharta maka menjadi kewajiban orang yang menafkahinya itu.

C.  Mesholatkan Jenazah
Tata cara mensholatkan:
a.    Sebelum sholat dimulai terlebih dahulu disunnahkan bagi imam untuk mengatur menjadi tiga shaf kebelakang atau seimbang.
b.    Imam perlu memperhatikan apabila si mayit itu lelaki maka imam berdiri disamping kepala mayit. Dan apabila mayit itu wanita maka imam berdiri disamping pinggang si mayit (ditengah badan mayit).
c.    Niat dilakukan bersama takbiratulikhram
Ø Takbir pertama, membaca Alfatihah.
Ø Takbir kedua, membaca shalawat atas Nabi ( seperti dalam sholat).
Ø Takbir ketiga, mendoakan si mayit.
Doanya :
ﺍﻟﻟﻬﻡ ﺍﻏﻔﺭﻟﻪ ﻮﺍﺮﺤﻣﻪ ﻮﻋﺎﻓﻪ ﻭﺍﻋﻑ ﻋﻧﻪ ﻭﺃﻜﺭﻡ ﻨﺯﻮﻟﻪ ﻮﻭﺴﻊ ﻤﺪﺧﻠﻪ ﻮﺍﻏﺴﻠﻪ ﺑﻤﺎﺀ ﻭﺜﻟﺞ ﻮﺑﺮﺪ ﻭﻨﻘﻪ ﻤﻦ ﺍﻠﺧﻄﺎﻴﺎ ﺪﺍﺮﺍ ﺨﻴﺮﺍ ﻤﻦ ﻜﻤﺎ ﻴﻨﻘﻲ ﺍﻠﺗﻮﺐ ﺍﻷﺒﻴﺾ ﻤﻦ ﺍﻠﺪﻧﺱ ﻭﺃﺒﺪﻠﻪ ﺪﺍﺮﻩ ﻮﺃﻫﻟﺎ ﺨﻴﺭﺍ ﻤﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﻮﺯﻭﺠﺎ ﺨﻴﺭﺍ ﻣﻦ ﺯﻮﺠﻪ ﻮﻗﻪ ﻓﺘﻧﺔ ﺍﻟﻘﺑﺮ ﻮﻋﺬﺍﺐ ﺍﻠﻧﺎﺮ
Ø Takbir keempat,  mendoakan keluarga mayit.
Doanya: Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlana wa lahu
Ø Salam[5].

D.  Menguburkan Jenazah
Menguburkan mayit adalah menimbun jasad mayit dengan tanah kedalam lubang dengan mencegah terciumnya bau busuk oleh orang yang masih hidup, agar jasad tersebut aman tidak dimakan oleh binatang buas, dan lain sebagainya. Hukum menguburkan mayit fardhu kifayah[6].
Tata cara penguburan:
Ø Tiga orang masuk kedalam kubur.
Ø Tiga orang yang masih berada diatas, seorang memanggul dibagian atas, seorang bagian tengah dan seorang dibagian bawah.
Ø Secara bersama-sama mengangkat jenazah dari bandosa sedang pihak lain mengangkat bandosa sehingga yang mengangkat leluasa untuk menyerahkan secara perlahan-lahan ketiga orang yang telah masuk kedalam kubur tadi.


3.    Pengertian dan Hukum Takziah

A.  Pengertian Ta’ziyah
Kata “ta’ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.[7]
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna etimologinya :
1.    Penulis kitab Radd Al-Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akanya”.
2.    Imam Al-Khirasyi di dalam syarahnya menulis : “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya.
3.    Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar, dan meghiburnya supaya melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya” .[8]

B.  Hukum Ta’ziyah
            Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah. Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah saw. yang artinya : “Barang siapa berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang di dapat orang tersebut” [HR. Tirmidzi 2/268. Kata beliau : “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu kecuali dari jalur Adi bin Ashim”, Ibnu Majah 1 /511].
Dalil lainnya, Abdullah bin Amr bin Al-Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw. bertanya kepada Fathimah r.a : “wahai Fathimah ! apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab : “Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini”. [HR. Abu Dawud 3/192]
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain :
1.    Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.
2.    Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah SWT.
3.    Memotivasi untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah SWT, dan menyerahkannya kepada Allah SWT.
4.    Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik.
5.    Melarangnya dari berbuat nihayah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
6.    Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
7.    Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.[9]

C.  Etika dalam Takziah
Ø Memuji si mayit dengan menyebut dan mengingat kebaikannya dan tidak mencoba menjelek-jelekannya, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kamu mencaci maki orang orang yang telah mati karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat“. (HR.Bukhori)
Ø Memohonkan ampun untuk jenazah yang telah meninggal. Ibnu Umar r.a pernah berkata: “Adalah Rasulullah SAW. apabila telah selesai mengubur jenazah, maka berdiri diatasnya dan bersabda mohonkanlah ampun untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar dia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishohihkan oleh Al-Albani)
Ø Disunnahkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah SAW. bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-bani)
Ø Disunnahkan bertakziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap bersabar, dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allah lah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaknya kamu bersabar dan mengharapkan pahala dari-Nya“. (Mutafaqun Alaih)[10]

4.    Ziarah dan Hikmahnya
a.    Pengertian Ziarah
Ziarah kubur adalah mengunjungi suatu makam dengan maksud mengambil pelajaran dan mengingat kehidupan akhirat. Pada umumnya ziarah kubur dilakukan kepada kuburan orang tuanya, orang-orang saleh dan sebagainya untuk mengenang jasa-jasa mereka, mendoakan, dan mengingatkan dirinya akan kehidupan akhirat.[11]
b.    Cara Ziarah
Jika seseorang yang berziarah telah sampai ke kubur hendaklah ia menghadap kearah muka mayat dan memberi salam serta mendoakannya. Mengenai hal ini diterima beberapa hadits, salah satunya dari Buraidah, dia berkata:
ﻜﺎﻦ ﺍﻟﻨﺑﻰ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻠﻡ ﻴﻌﻟﻤﻬﻡ  ﺇﺬﺍ ﺧﺮﺟﻭﺍ ﺍﻟﻰ ﺍﻠﻤﻘﺎﺑﺮ ﺃﻦ ﻴﻘﻭﻞ ﻗﺎﺋﻟﻬﻡ ׃ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻟﻳﻜﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺪﻴﺎﺮ ﻤﻥ ﺍﻠﻤﺆﻤﻨﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻦ ٬ ﻮﺇﻨﺎ ﺇﻥﺸﺎﺀﺍﷲ ﺑﻜﻡ ﻻﺤﻘﻮﻥ٬ﺃﻧﺗﻢ ﻔﺮﻄﻨﺎ ﻭﻧﺤﻦ ﻟﻜﻡﺘﺑﻊ٬ ﻮﻨﺴﺄﻞ ﺍﷲ ﻟﻧﺎ ﻮ ﻟﻜﻢ ﺍﻠﻌﺎﻔﻴﺔ٬ (ﺭﻮﺍﻩﺃﺤﻤﺪﻭﻤﺴﻟﻡﻮﻏﻴﺮﻫﻤﺎ)
Artinya : “Nabi SAW. telah mengajarkan kepada para sahabat seandainya mereka pergi menziarahi kubur supaya ada yang mengucapkan “Assalamu’alaikum, hai penduduk kubur, dari golongan yang beriman dan beragama islam! Dan kami insyaallah, juga akan menyusul dibelakang. Kamu adalah sebagai pelopor-pelopor kami, dan kami menjadi pengikut-pengikut kami. Dan kami memohon kepada Allah agar kami begitupun kamu dilimpahi keselamatan oleh Allah SWT.” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lain)[12]
Menurut pendapat imam Syafi’i dan sebagian ulama, hukumnya sunnah bagi jenazah yang telah mukallaf dan bukan anak kecil, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sayyid bin Abu Mansyur dari Rasyid bin Saad dan Daurah bin Habib serta Hakim bin Umair mereka berkata, “Jika kuburan telah diratakan dan orang-orang telah berpaling, mereka menganggap sunnah mengajarkan kepada jenazah dikuburnya dengan ucapan Lailahaillallah, Asyhadu alla ilaha illallah sebanyak tiga kali. Dan katakanlah, “Tuhanku adalah Allah SWT, agamaku islam, nabiku Muhammad SAW.”[13]
c.    Hikmah Ziarah
Semula ziarah kubur itu dilarang karena pada waktu itu mereka masih dekat dengan masa jahiliah dan mereka belum dapat menjauhi ucapan-ucapan kotor dan keji, dan akidah mereka masih lemah. Sehingga dikhawatirkan menjadi musyrik. Akan tetapi ketika mereka telah merasakan tentramnya menganut ajaran-ajaran islam dan aturan-aturannya, maka mereka diizinkan malah diperintahkan untuk berziarah kubur mendoakan orang yang meninggal. Inilah maksud utama yang terkandung didalamnya, sehingga orang yang berziarah kubur akan mengingat bahwa dirinya akan mati.
BAB 3
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
            Bahwasanya semua makhluk yang bernyawa itu semuanya akan mengalami yang namanya kematian. Oleh karena itu kita semua harus mempersiapkan bekal dari dunia ini untuk mempertanggung jawabkan di akhirat kelak. Oleh karena itu pula kita sebagai umat islam harus saling membantu satu sama lain. Seperti mengurus jenazah yang hukumnya fardu kifayah.
            Pada dasarnya, penyelenggaraan jenazah ini merupakan suatu penghormatan orang yang masih hidup terhadap orang telah meninggal, penghormatan ini merupakan suatu bukti rasa saling menganggap manusia merupakan makhluk yang berasal dari yang satu dan akan kembali padanya. Selain itu juga dalam pengurusan jenazah juga merupakan menggambarkan bahwa manusia mempunyai rasa persatuan dan kesatuan sebagai mahluk sosial. Dalam pengurusan jenazah walaupun hukumnya fardhu kifayah, tidak menutup pribadi kita untuk mengurusi jenazah, terlebih kita berada dalam suatu lingkungan dengan kita. Untuk selanjutnya dalam pengurusan jenazah ini kita dianjurkan untuk lebih mendalami pengetahuan baik memandikan, mengafankan, menyolatkan dan juga menguburkan.

B.     SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami cara-cara dalam penyelenggaraan memandikan jenazah.







DAFTAR PUSTAKA

1.      Sabiq, sayyid. Fikih Sunnah Jilid 4. Bandung: PT. Alma’arif. 1978.
2.      Al-Abany, M. Nashiruddin. Hukum Mengurus Jenazah. Jakarta: Media Dakwah. 2005.
3.      As-Sunde, Muhammad. Artikel Fiqh Ta’ziyah. Surakarta: Majalah As-Sunde Edisi 01. 2006.
4.       www.al-manhaj.or.id
5.       Ardani, M. Fikih Ibadah Praktis. Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama. 2008.
6.       Abidin, Slamet., Moh. Suyono H.S. Fikih Ibadah. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1998.




[1] Sayyid Sabiq, fiqih sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978)  jilid 4, h. 89.
[2] Tangan itu adalah tangan Abdurrahman bin ‘Itab bin Asid.
[3] Ini adalah pendapat golongan Maliki dan lebih syahnyaMazhab Maliki.
[4] Sayyid Sabiq, fiqih sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978)  jilid 4, h. 102-103.
[5] Prof. Dr. H. M. Ardani, fiqh ibadah praktis  (Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2008) h. 225-226.
[6] Ibid., h. 236.
[7] M. Nashiruddin al-albany, hukum mengurus jenazah (Jakarta: Media Dakwah,  2005) h. 127.
[8] Ibid.
[9] M. As-Sunde, Majalah as-Sunnad edisi 0/tahun X/1227H/2006 M,  Judul Artikel fiqh Ta’ziyah (Surakarta: Yayasan Lagnah Istiqomah, 2006) h. 4.
[10] Darul Haq, etika seorang muslim h. 92-94.
[11] Drs. Slamet Abidin,. Drs. Moh Suyono H.S., fiqh ibadah,  (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998) h. 186.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978)  Jilid 4.
[13] op. cit., h. 182.

Komentar

Postingan Populer