JENAZAH
BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama
Islam sebagai agama yang komperensif yang telah lengkap ajarannya yang
dibawakan Rasulullah SAW. Dan wajib untuk kita umatnya mengikuti ajaran yang
telah dibawanya salah satunya berhubungan dengan hal ibadah. Ibadah tidak hanya
kepada Allah SWT. tetapi juga bagaimana muamalah kita kepada manusia. Salah
satunya Rasulullah SAW. telah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya
bermuamalah kepada manusia baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Rasulullah
SAW. telah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya mengurus saudara/i muslim
kita yang telah meninggal dan juga bagaimana kewajibannya mengurus jenazah
saudara/i muslim kita. Tapi pada kenyataannya pada saat ini umat islam kurang
mengetahui dan kurang antusias dalam pengurusan jenazah. Padahal hukum mengurus
jenazah, dari memandikan sampai menguburkan hukumnya fardhu kifayah. Oleh
karena itu kami sebagai penyusun ingin sedikit menjelaskan dan memaparkan
bagaimana caranya pengurusan jenazah dan memandikan sampai menguburkan juga
dalam takziah dan ziarah. Oleh karena itu kami mengangkat tema dan judul
tentang “Bagaimana Pengurusan Jenazah”.
B. RUMUSAN MASALAH
B. RUMUSAN MASALAH
Memenuhi tugas makalah
fiqh yang diberikan oleh Bpk. Rusydi Jamil M.ag.
C. TUJUAN UMUM
1. Mengetahui
dan memahami tentang pengertian dan hukum penyelenggaraan Jenazah
2. Mengetahui
dan memahami tentang tata cara pengurusan jenazah
3. Mengetahui
dan memahami tentang pengertian dan hukum takziah
4. Mengetahui
dan memahami tentang ziarah kubur dan hikmahnya
BAB
2
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan Hukum Penyelenggaraan Jenazah
Setiap
manusia yang bernyawa pasti akan mengalami kematian tetapi bukan kematian yang
menjadi masalahnya akan tetapi bagaimana kita sebagai umatnya mempersiapkan
bekal di akhirat nanti agar kita menjadi hambanya yang selamat dari siksa kubur
dan juga siksaan di neraka.
Allah
SWT. juga mengingatkan kepada hambanya, bahwasannya setiap yang bernyawa pasti
akan merasakan mati, sesuai dengan firmannya :
كُلُّ
نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ {ﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻥ׃١٨٥}
Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.” (Q.S Al-Imran : 185)
2.
Tata Cara Pengurusan Jenazah
A. Memandikan Jenazah
Jumhur
ulama atau golongan terbesar dari ulama berpendapat, bahwa memandikan mayat
muslim hukumnya adalah fardhu kifayah artinya bila telah dilakukan oleh
sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf. Hal itu ialah
berdasarkan perintah dari Rasulullah SAW.[1]
Syarat
wajib mandi yaitu: (1)Seorang muslim, (2)masih ada bagian dari tubuhnya, (3)dan
dia bukan seorang yang mati syahid (mati dalam keadaan perang di jalan Allah).
Sesuai
dengan perkataan imam Syafi’i ”kami mendapat berita bahwa diwaktu perang
berunta seekor burung menjatuhkan sepotong tangan manusia di mekkah[2].
Tangan itu dapat mereka kenali dengan cincin maka tangan itu mereka mandikan
dan shalatkan dan hal itu adalah di depan para sahabat“.
Orang
yang mati syahid itu tidak dimandikan walau ia dalam keadaan junub sekalipun[3]. Ia
dikafani dengan pakaian yang baik untuk kain kafan, ditambah jika kurang,
sebaliknya dikurangi jika berlebih dari tuntunan sunnah, lalu dimakamkan dengan
darahnya tanpa dibasuh sedikitpun. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Ahmad, bahwa Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : “Janganlah kamu memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap tetes
darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada hari kiamat.”
Dan
beliau menyuruh agar para syuhada dari perang uhud dikuburkan dengan darah
mereka tanpa dimandikan dan di shalatkan.
Memandikan jenazah itu
pada intinya menyiramkan air ke sekujur tubuh mayat, tak ada bagian sedikitpun
yang tidak terguyur air, sampai bagian lipatan sekalipun, seperti alat kelamin
anak yang belum khitan, vagina wanita yang menjorok ke dalam.
Cara
Memandikan Jenazah :
Ø jenazah
diangkat dengan hati-hati ke tempat mandinya. Tempat itu hendaklah tertutup,
sehingga tidak terlihat oleh orang yang tidak bertugas memandikannya. Yang
paling baik memandikan jenazah ialah keluarganya sendiri dan dibantu oleh orang
lain, tidak perlu banyak orang, secukupnya saja. Jenazah yang dimandikan itu
diletakkan ditempat yang agak tinggi, agar tidak terkena cipratan air bekas.
Ø buka
kain penutup badan jenazah itu dan beri kain mandi (basahan) sehingga aurat
utamanya (kemaluannya) tertutup rapi.
Ø berniat
di dalam hati hendak memandikannya, memenuhi fardhu kifayah, dengan membaca
“Bismillahirrahmaanirrahim”.
Ø Siram
jenazah itu dengan air yang telah dipersiapkan. Disunnahkan memulai dari arah
kepala jenazah dan terus ke kaki. Lalu, diberi sabun secara merata sambil digosok-gosok
dengan hati-hati sehingga kotorannya terbuang.
Untuk menggosok bagian kanan jenazah
dimiringkan ke kiri. Berhati-hatilah menahan jenazah yang dimiringkan, agar dia
tidak terlentang dengan tiba-tiba, karena hal demikian kurang menghormatinya. Setelah
selesai bagian kanannya, maka dimiringkan ke kanan, sehingga bagian kirinya
dapat dogosok pula. Setelah selesai ditelentangkan dengan perlahan-lahan,
barulah disiram secara merata, sehingga air membasahi seluruh badannya dan
kotoran hanyut dibawa air. Demikian dilakukan, sebaiknya tiga kali.
Dalam riwayat yang shaheh, Nabi
bersabda: “Mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota
wudhu”.
Dari sabda Rasulullah ini nyatalah bahwa
bila dirasa jenazah itu agak busuk, sebaiknya air mandinya diberi kapur barus
dan lain-lain yang cepat mengurangi bau busuknya. Tetapi air yang dipakainya
ini, hanyalah sekedar menghilangkan baunya saja, bukanlah dalam memandikan
dalam arti yang sebenarnya, karena air itu bercampur dengan zat suci yang lain.
Sesudah air ini disiramkan, maka barulah disiramkan air mutlak, sebagai air
mandinya.
Ø Bila
bersih tubuhnya, maka kita wudhukan, seperti berwudhu untuk sholat. Bila dirasa
akan keluar kotoran dari tempatnya maka seharusnya disumbat dahulu dengan
kapas, seperlunya saja.
Ø Setelah
selesai memandikan, maka kain ditukar dengan yang bersih dan kering. Diangkat
bersama-sama ke tempat mengkafaninya.
B. Mengkafani
Jenazah
Hukumnya
mengkafani Jenazah dengan apa saja yang dapat menutupi tubuhnya walau hanya
sehelai kain, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ini sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab r.a. yang artinya:
“Kami
hijrah bersama Rasulullah saw. Dengan mengharapkan keridhaan Allah swt. Maka
tentulah akan kami terima pahalanya dari Allah swt. Karena diantara kami ada
yang meninggal sebelum memperoleh hasil duniawi sedikitpun. Misalnya Mas’ab bin
Umair, ia tewas terbunuh di perang uhud dan tak ada buat kain kafannya kecuali
selembar kain burdah. Jika kepalanya ditutup akan terbukalah kakinya, dan jika
kakinya ditutup maka tersembul kepalanya. Maka nabi saw. Menyuruh kami buat
menutupi kepalanya, dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya[4]”.
Hal-hal yang diutamakan dalam mengkafani
jenazah :
1. Kain
kafan hendaknya bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh.
2. Hendaknya
kain kafan berwarna putih.
3. Hendaknya
diberi wangi-wangian.
4.
Bagi laki laki
hendaklah tiga lapis, sedangkan wanita lima lapis.
Sesuai
dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, yang artinya : “Nabi SAW, dikafani
dengan tiga helai dengan kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan sorban”.
Makruh hukumnya jika berlebih-lebihan dalam kain
kafan. Hendaklah
kain kafan itu kain yang bagus tetapi tidak terlalu mahal harganya atau sampai
seseorang memaksakan sesuatu yang diluar kemampuannya. Juga diharamkan bagi
laki-laki dikafani dengan kain yang berbahan sutra, namun bagi wanita
diperbolehkan.
Jika
seseorang meninggal dan meninggalkan harta, maka biaya mengkafaninya diambil
dari hartanya itu. Jika dia tidak berharta maka menjadi kewajiban orang yang
menafkahinya itu.
C.
Mesholatkan
Jenazah
Tata cara mensholatkan:
a. Sebelum
sholat dimulai terlebih dahulu disunnahkan bagi imam untuk mengatur menjadi
tiga shaf kebelakang atau seimbang.
b. Imam
perlu memperhatikan apabila si mayit itu lelaki maka imam berdiri disamping
kepala mayit. Dan apabila mayit itu wanita maka imam berdiri disamping pinggang
si mayit (ditengah badan mayit).
c.
Niat dilakukan
bersama takbiratulikhram
Ø Takbir
pertama, membaca Alfatihah.
Ø Takbir
kedua, membaca shalawat atas Nabi ( seperti dalam sholat).
Ø Takbir
ketiga, mendoakan si mayit.
Doanya
:
ﺍﻟﻟﻬﻡ ﺍﻏﻔﺭﻟﻪ ﻮﺍﺮﺤﻣﻪ
ﻮﻋﺎﻓﻪ ﻭﺍﻋﻑ ﻋﻧﻪ ﻭﺃﻜﺭﻡ ﻨﺯﻮﻟﻪ ﻮﻭﺴﻊ ﻤﺪﺧﻠﻪ ﻮﺍﻏﺴﻠﻪ ﺑﻤﺎﺀ ﻭﺜﻟﺞ ﻮﺑﺮﺪ ﻭﻨﻘﻪ ﻤﻦ ﺍﻠﺧﻄﺎﻴﺎ ﺪﺍﺮﺍ
ﺨﻴﺮﺍ ﻤﻦ ﻜﻤﺎ ﻴﻨﻘﻲ ﺍﻠﺗﻮﺐ ﺍﻷﺒﻴﺾ ﻤﻦ ﺍﻠﺪﻧﺱ ﻭﺃﺒﺪﻠﻪ ﺪﺍﺮﻩ ﻮﺃﻫﻟﺎ ﺨﻴﺭﺍ ﻤﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﻮﺯﻭﺠﺎ ﺨﻴﺭﺍ
ﻣﻦ ﺯﻮﺠﻪ ﻮﻗﻪ ﻓﺘﻧﺔ ﺍﻟﻘﺑﺮ ﻮﻋﺬﺍﺐ ﺍﻠﻧﺎﺮ
Ø Takbir
keempat, mendoakan keluarga mayit.
Doanya: Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa
taftinnaa ba’dahu waghfirlana wa lahu
Ø
Salam[5].
D. Menguburkan Jenazah
Menguburkan
mayit adalah menimbun jasad mayit dengan tanah kedalam lubang dengan mencegah
terciumnya bau busuk oleh orang yang masih hidup, agar jasad tersebut aman
tidak dimakan oleh binatang buas, dan lain sebagainya. Hukum menguburkan mayit
fardhu kifayah[6].
Tata cara penguburan:
Ø Tiga
orang masuk kedalam kubur.
Ø Tiga
orang yang masih berada diatas, seorang memanggul dibagian atas, seorang bagian
tengah dan seorang dibagian bawah.
Ø Secara
bersama-sama mengangkat jenazah dari bandosa sedang pihak lain mengangkat
bandosa sehingga yang mengangkat leluasa untuk menyerahkan secara
perlahan-lahan ketiga orang yang telah masuk kedalam kubur tadi.
3. Pengertian dan Hukum Takziah
A. Pengertian Ta’ziyah
Kata “ta’ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar
(kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, yaitu
sabar menghadapi musibah kehilangan.[7]
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan
dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna
etimologinya :
1. Penulis kitab Radd Al-Mukhtar
mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati)
maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus
mendo’akanya”.
2. Imam Al-Khirasyi di dalam syarahnya
menulis : “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan
pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan
mayitnya.
3. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan
: “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar, dan
meghiburnya supaya melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan
musibah yang menimpanya” .[8]
B. Hukum Ta’ziyah
Berdasarkan
kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya
adalah sunnah. Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah saw. yang artinya :
“Barang siapa berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya
pahala seperti pahala yang di dapat orang tersebut” [HR. Tirmidzi 2/268. Kata
beliau : “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak
marfu kecuali dari jalur Adi bin Ashim”, Ibnu Majah 1 /511].
Dalil lainnya, Abdullah
bin Amr bin Al-Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw.
bertanya kepada Fathimah r.a : “wahai Fathimah ! apa yang membuatmu keluar
rumah?” Fathimah menjawab : “Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal
mati ini”. [HR. Abu Dawud 3/192]
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua
belah pihak. Antara lain :
1. Meringankan beban musibah yang
diderita oleh orang yang dilayat.
2. Memotivasinya untuk terus bersabar
menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah SWT.
3. Memotivasi untuk ridha dengan ketentuan
atau qadar Allah SWT, dan menyerahkannya kepada Allah SWT.
4. Mendo’akannya agar musibah tersebut
diganti oleh Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik.
5. Melarangnya dari berbuat nihayah
(meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah
yang menimpanya.
6. Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
7. Adanya pahala bagi orang yang
berta’ziyah.[9]
C.
Etika
dalam Takziah
Ø Memuji
si mayit dengan menyebut dan mengingat kebaikannya dan tidak mencoba
menjelek-jelekannya, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kamu mencaci maki
orang orang yang telah mati karena mereka telah sampai kepada apa yang telah
mereka perbuat“. (HR.Bukhori)
Ø Memohonkan
ampun untuk jenazah yang telah meninggal. Ibnu Umar r.a pernah berkata: “Adalah
Rasulullah SAW. apabila telah selesai mengubur jenazah, maka berdiri diatasnya
dan bersabda mohonkanlah ampun untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah
agar dia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan
dishohihkan oleh Al-Albani)
Ø Disunnahkan
menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah
SAW. bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka sedang
ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan
oleh Al-bani)
Ø Disunnahkan
bertakziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap bersabar,
dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allah lah apa yang telah Dia
ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan dan segala sesuatu disisi-Nya
sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaknya kamu bersabar dan mengharapkan pahala
dari-Nya“. (Mutafaqun Alaih)[10]
4.
Ziarah dan Hikmahnya
a. Pengertian Ziarah
Ziarah kubur adalah mengunjungi suatu
makam dengan maksud mengambil pelajaran dan mengingat kehidupan akhirat. Pada
umumnya ziarah kubur dilakukan kepada kuburan orang tuanya, orang-orang saleh
dan sebagainya untuk mengenang jasa-jasa mereka, mendoakan, dan mengingatkan
dirinya akan kehidupan akhirat.[11]
b. Cara Ziarah
Jika seseorang yang berziarah telah
sampai ke kubur hendaklah ia menghadap kearah muka mayat dan memberi salam
serta mendoakannya. Mengenai hal ini diterima beberapa hadits, salah satunya
dari Buraidah, dia berkata:
ﻜﺎﻦ
ﺍﻟﻨﺑﻰ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻠﻡ ﻴﻌﻟﻤﻬﻡ ﺇﺬﺍ ﺧﺮﺟﻭﺍ ﺍﻟﻰ
ﺍﻠﻤﻘﺎﺑﺮ ﺃﻦ ﻴﻘﻭﻞ ﻗﺎﺋﻟﻬﻡ ׃ ﺍﻟﺴﻼﻡ
ﻋﻟﻳﻜﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺪﻴﺎﺮ ﻤﻥ ﺍﻠﻤﺆﻤﻨﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻦ ٬ ﻮﺇﻨﺎ ﺇﻥﺸﺎﺀﺍﷲ ﺑﻜﻡ ﻻﺤﻘﻮﻥ٬ﺃﻧﺗﻢ ﻔﺮﻄﻨﺎ ﻭﻧﺤﻦ
ﻟﻜﻡﺘﺑﻊ٬ ﻮﻨﺴﺄﻞ ﺍﷲ ﻟﻧﺎ ﻮ ﻟﻜﻢ ﺍﻠﻌﺎﻔﻴﺔ٬ (ﺭﻮﺍﻩﺃﺤﻤﺪﻭﻤﺴﻟﻡﻮﻏﻴﺮﻫﻤﺎ)
Artinya
: “Nabi SAW. telah mengajarkan kepada
para sahabat seandainya mereka pergi menziarahi kubur supaya ada yang
mengucapkan “Assalamu’alaikum, hai penduduk kubur, dari golongan yang beriman
dan beragama islam! Dan kami insyaallah, juga akan menyusul dibelakang. Kamu
adalah sebagai pelopor-pelopor kami, dan kami menjadi pengikut-pengikut kami. Dan
kami memohon kepada Allah agar kami begitupun kamu dilimpahi keselamatan oleh
Allah SWT.” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lain)[12]
Menurut
pendapat imam Syafi’i dan sebagian ulama, hukumnya sunnah bagi jenazah yang
telah mukallaf dan bukan anak kecil, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Sayyid bin Abu Mansyur dari Rasyid bin Saad dan Daurah bin Habib serta Hakim
bin Umair mereka berkata, “Jika kuburan telah diratakan dan orang-orang telah
berpaling, mereka menganggap sunnah mengajarkan kepada jenazah dikuburnya
dengan ucapan Lailahaillallah, Asyhadu alla ilaha illallah sebanyak tiga
kali. Dan katakanlah, “Tuhanku adalah Allah SWT, agamaku islam, nabiku Muhammad
SAW.”[13]
c. Hikmah Ziarah
Semula ziarah kubur itu dilarang karena
pada waktu itu mereka masih dekat dengan masa jahiliah dan mereka belum dapat
menjauhi ucapan-ucapan kotor dan keji, dan akidah mereka masih lemah. Sehingga
dikhawatirkan menjadi musyrik. Akan tetapi ketika mereka telah merasakan
tentramnya menganut ajaran-ajaran islam dan aturan-aturannya, maka mereka
diizinkan malah diperintahkan untuk berziarah kubur mendoakan orang yang
meninggal. Inilah maksud utama yang terkandung didalamnya, sehingga orang yang
berziarah kubur akan mengingat bahwa dirinya akan mati.
BAB
3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bahwasanya
semua makhluk yang bernyawa itu semuanya akan mengalami yang namanya kematian.
Oleh karena itu kita semua harus mempersiapkan bekal dari dunia ini untuk
mempertanggung jawabkan di akhirat kelak. Oleh karena itu pula kita sebagai
umat islam harus saling membantu satu sama lain. Seperti mengurus jenazah yang
hukumnya fardu kifayah.
Pada dasarnya, penyelenggaraan jenazah ini merupakan
suatu penghormatan orang yang masih hidup terhadap orang telah meninggal,
penghormatan ini merupakan suatu bukti rasa saling menganggap manusia merupakan
makhluk yang berasal dari yang satu dan akan kembali padanya. Selain itu juga
dalam pengurusan jenazah juga merupakan menggambarkan bahwa manusia mempunyai
rasa persatuan dan kesatuan sebagai mahluk sosial. Dalam pengurusan jenazah
walaupun hukumnya fardhu kifayah, tidak menutup pribadi kita untuk mengurusi
jenazah, terlebih kita berada dalam suatu lingkungan dengan kita. Untuk
selanjutnya dalam pengurusan jenazah ini kita dianjurkan untuk lebih mendalami
pengetahuan baik memandikan, mengafankan, menyolatkan dan juga menguburkan.
B. SARAN
B. SARAN
Dengan
adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami cara-cara dalam
penyelenggaraan memandikan jenazah.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Sabiq,
sayyid. Fikih Sunnah Jilid 4. Bandung:
PT. Alma’arif. 1978.
2. Al-Abany,
M. Nashiruddin. Hukum Mengurus Jenazah.
Jakarta: Media Dakwah. 2005.
3. As-Sunde,
Muhammad. Artikel Fiqh Ta’ziyah. Surakarta:
Majalah As-Sunde Edisi 01. 2006.
5. Ardani, M. Fikih Ibadah
Praktis. Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama. 2008.
6. Abidin, Slamet., Moh. Suyono H.S. Fikih Ibadah. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1998.
[1] Sayyid Sabiq, fiqih
sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978) jilid 4, h. 89.
[2] Tangan itu adalah tangan Abdurrahman bin ‘Itab bin
Asid.
[3] Ini adalah pendapat golongan Maliki dan lebih
syahnyaMazhab Maliki.
[4] Sayyid Sabiq, fiqih
sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978) jilid 4, h. 102-103.
[5] Prof. Dr. H. M. Ardani, fiqh ibadah praktis (Jakarta:
PT. Mitra Cahaya Utama, 2008) h. 225-226.
[6] Ibid., h.
236.
[7] M. Nashiruddin al-albany, hukum mengurus jenazah (Jakarta: Media Dakwah, 2005) h. 127.
[8] Ibid.
[9] M. As-Sunde, Majalah as-Sunnad edisi 0/tahun
X/1227H/2006 M, Judul Artikel fiqh Ta’ziyah (Surakarta: Yayasan Lagnah
Istiqomah, 2006) h. 4.
[10] Darul Haq, etika
seorang muslim h. 92-94.
[11] Drs. Slamet Abidin,. Drs. Moh Suyono H.S., fiqh ibadah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998) h. 186.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 1978) Jilid 4.
Komentar