Sejarah Berdirinya Organisasi Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena
menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai
Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya
kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami,
serta munculnya partai-partai yang memakai platform islam.
Setelah Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh
munculnya aktor gerakan islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan
islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah,
Jamaat Khair dan sebagainya. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis
ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam
yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter
yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Nadhatul
Ulama?
2.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Muhammadiyah?
3.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Persis?
4.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Al-washiliah?
5.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Jami’t Khoir Alirsyad?
6.
Bagaimana
Latar Belakang dan Kontribusi Serikat Islam?
- Tujuan
Untuk menambah wawasan pengetahuan akan perjuangan para pendahulu
dalam memperjuangkan Islam dalam berbagai bidang.
BAB II
PEMBAHASAN
Nadhatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang terbesar jumlah anggotanya di Indonesia, Nadhatul Ulama berdirinya pada tanggal 16 Rajab 1344 atau 13 Januari 1926 M di Surabaya dengan pemrakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah[1]. NU sendiri berpahamkan “Ahlusunnah wal Jama’ah” berasaskan Pancasila, yang dalam aqidah mengikuti aliran Asy-ari’yah Maturidiyah, dalam syariah/fiqh mengikuti salah satu madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali, dan dalam tashawuf mengikuti Al-Junaid dan Al-Ghozali[2].
Pembentukan NU dilatar belakangi keinginan Raja Abdul Aziz Ibnu
Saud untuk menerapkan asas tunggal yakni Madzhab Wahabi di Mekah, serta
menghancurkan semua peninggalan Sejarah Islam maupun Pra Islam yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan tersebut disambut hangat kaum
modernis Indonesia, namun kalangan pesantren menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Karena perbedaan itu, kalangan pesantren memutuskan keluar dari
anggota Kongres Al-islam di Yogyakarta 1925 yang akan berangkat menghadiri
undangan Raja Ibnu Saud di Mekah. Mereka akhirnya membentuk Komite Hejaz. Rapat
pertama Komite Hejaz diadakan pada tanggal 31 Januari 1926 ditempat kediaman KH
Abdul Wahab Abdullah di Desa Kertopaten, Surabaya.
Rapat Komite Hijaz menghasilkan dua keputusan, yaitu :
1.
Kalangan
pesantren membuat delegasi sendiri yang diketuai KH Wahab Chasbullah ke Mekkah
bertemu langsung Raja Ibnu Saud.
2.
Membentuk
satu jami’ah sebagai wadah persatuan ulama yang bernama Jami’ah Nadhatul Ulama
atas usulan KH Alwi Abdul Aziz.
Faham Ahlussunnah wal Jama;ah yang dianut NU adalah sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah Antara ekstrim aqli ( rasionalis ) dengan kaum
ekstrim naqli ( skripturalis ). Sumber pemikiran NU tidak hanya berdasarkan Al-qur’an
dan Sunnah, namun juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric.
NU memiliki 13 bidang cakupan pada program kerja, Antara lain
bidang keagamaan, pendidikan, budaya, dakwah, sosial, ekonomi, tenaga kerja,
pertanian, nelayan, generasi muda, kewanitaan, pengembangan sumber daya
manusia, penerbitan dan informasi, kependudukan dan lingkungan hidup.
Nadhatul Ulama memiliki 7 lajnah ( panitia ) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan program-program di lapangan, yaitu :
1.
Lajnah Falakkiyah (
Lembaga Falak )
2.
Lajnah
At-Ta’lif wa An-Nasyr ( Lembaga Penerbitan dan Publikasi )
3.
Lajnah
Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
4.
Lajnah
Waqfiyah
5.
Lajnah
Penyuluhan dan Bantuan Hukum
6.
Lajnah
Zakat, Infaq, Shadaqah, dan
7.
Lajnah
Bahs Al-Masa’il Ad-Diniyyah
Selain itu NU memiliki 12 lembaga, dan 9 badan otonom yang
berfungsi untuk membantu pelaksaan kebijakan organisasi. Kini anggota NU
tersebar di berbagai daerah, dan Negara sahabat,yang berjumlah tidak kurang
dari 45 jiwa. NU pun sering dijuluki penganut islam tradisionalis, karena
system pendidikannya yang berupa pesantren.
Setelah berakhirnya Masa Orde Baru, perbedaan Antara konservatif
dan progresif mereka ingin membawa NU ke politik dan yang ingin kembali ke
Khittah 1926. Namun pengalaman selama 21 tahun menjadi partai politik telah
cukup menyulitkan posisi NU, selain menjadi kurang terbinanya kerja NU dalam
bidang pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Akhirnya diputuskan untuk
mengembalikan fungsi NU sesuai semangat tahun 1926[3].
Berdirinya Al-Washiliyah dilatar belakangi oleh kesadaran
beberapa pelajar dan guru yang tergabung dalam perguruan Maktab Islamiah
Tapanuli untuk bersatu dalam menyalurkan ide dan pendapat. Pada tahun 1918,
masyarakat Mandailing menetap di Medan berinisiatif mendirikan sebuah Institusi
Pendidikan Agama Islam, bernama Maktab Islamiyah Tapanuli. Mereka ini adalah
pendatang dari daerah Tapanuli Selatan yang berbatasan langsung dengan tanah Minangkabau.
System pendidikan MIT adalah mencoba menggabungkan system
tradisional dan modern. Apa yang diajarkan tidak jauh berbeda dari
pesantren-pesantren tradisional, namun pengajaran sudah dilakukan secara
klasikal dengan menggunakan media-media modern seperti bangku, papan tulis, dan
sebagainya. Pendidikan inipun dibagi menjadi tiga tingkatan : persiapan (
tajhizi ), awal ( ibtida’I ), dan menengah ( tsanawi ). System dikelas
mengikuti Universitas Al-Azhar Kairo yang menjadi kiblat pendidikan umat islam
saat itu yaitu menerapkan system halaqah dengan duduk di lantai.
Pada tahun 1928, para alumni dan murid enior MIT
mendirikan Debating Club sebagai wadah untuk mendiskusikan pelajaran
maupun persoalan-persoalan sosial keagamaan yang sedang berkembang ditengah
masyarakat. Debating club ini berkaitan
dengan diskusi-diskusi mengenai nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang
didorong oleh kaum pembaru. Para anggota Debating Club merasakan
perlunya tempat diskusi yang lebih besar lagi. Lalu upaya ke arah ini mulai
dirintis, sehingga pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan 9 Rajab
1349, telah resmi berdirinya sebuah organisasi yang diberi nama Al-Washliyah,
yang bermakna organisasi yang ingin menghubungkan dan mempertalikan. Hal ini
berkaitan dengan keinginan memelihara hubungan antara manusia dengan Tuhan,
hubungan sesama manusia, antarsuku, antarbangsa dan lain-lain. Nama organisasi
ini diambil dari Al-Qur’an. Demikianlah nama dari Al-Washliyah yang memancarkan
cita-cita yang tinggi yang diharapkan menjadi roh bagi para simpatisannya.
Setelah resmi didirikan, kemudian
ditetapkanlah para pengurus Al-Washliyah yang berkedudukan di Medan, dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Ketua I: Isma’il Banda.
2. Ketua II: A. Rahman Sjihab
3. Penulis I: M. Arsjad Thalib Lubis
4. Penulis II: Adnan Nur
5. Bendahara: H. M. Yaa’kub
6. Pembantu: H. Syamsuddin, H. Jusuf Ahmad Lubis,
H. A. Malik, A. Aziz Effendy
7. Penasihat: Sjech H. Muhammad Junus
Berdasarkan
Keputusan Kongres (Muktamar) Al-Washliyah ke X Tanggal 10 Maret s/d 14 Maret
1956 di Jakarta, disepakati bahwa kedudukan Pengurus Besar Al-Washliyah
dipindahkan ke pusat pemerintahan. Hal ini dimaksudkan aggar lebih dekat dengan
kekuasaan pemerintah dan memudahkan koordinasi dengan pengurus di tingkat
wilayah di seluruh Indonesia.
Berdirinya
Al-Washliyah tidak tergantung pada seorang tokoh sentral yang karismatik
sebagaimana halnya Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari dengan NU,
atau Ahmad Soorkati dengan Al-Irsyad. Pendirian dan pertumbuhan awal
Al-Washliyah lebih merupakan hasil upaya bersama beberapa orang dengan peran
dan keistimewaannya masing-masing. Adapun orang-orang yang berperan penting
dalam pendirian dan perkembangan organisasi Al-Washliyah ini, yaitu Syekh
Muhammad Yunus (tokoh yang dianggap sebagai pendiri Al-Washliyah), Abdurrahman
Syihab (tokoh yang mempunyai kemampuan tinggi dalam rekruitmen anggota), Arsyad
Talib Lubis (ulama Al-Washliyah dengan ilmu dan pengetahuan agama islam yang
mendalam), Udin Syamsuddin (administrator dan ahli manajemennya).
Al-Washliyah dipandang
sebagai organisasi sosial keagamaan yang bersifat tradisional dalam paham
keagamaan (ciri khas Syafi’iyah), tetapi modernis dalam pendidikan islam
(bentuk lembaga yang didirikan seperti madrasah dan sekolah serta sistem dan
kurikulum yang digunakan[4]
Pada tahun 1901, di Pekojan mereka mendirikan organisasi
Al-Jami’at Al-Khariyah ( Perkumpulan Kebaikan ). Organisasi ini memperoleh izin
resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905. Jami’at Khoir ini
didirikan oleh Sayid Muhammad Al-Fakhir bin Abdurahman Al-mansur, Sayid Muhammad
bin Abdullah bin Syihab, Sayid Syehan bin Sihab.
Anggota organisasi ini terbuka bagi setiap muslim, namun
mayoritas anggotanya adalah Masyarakat Arab. Tujuan berdirinya organisasi ini
karena beberapa hal menyangkut pendidikan, yaitu :
1. Keterbatasan sarana pendidikan dan kekurangsesuaian
fasilitas pendidikan.
2. Masyarakat Arab kurang suka mengikuti pendidikan di
sekolah Belanda.
3. Sekolah pribumi kurang bermutu.
System pendidikan Jami’at Khoir menggunakan system
modern, seperti adanya kurikulum, mata pelajaran umum, mata pelajaran agama,
kelas-kelas yang sudah terorganisasi. Jami’at Khoir pun mendatangkan guru-guru
dari luar yaitu:
1. H.Muhammad Mansur
dari Padang
2. Alhasimi dari
Tunis yag memperkenalkan kepanduan dan olahraga
3. Syekh Muhammad Thaib dari Maroko tahun 1911
4. Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah tahun 1911
5. Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan tahun 1911
Soorkati memiliki peranan penting dalam perkembangan
Jami’at Khoir. Soorkati lahir pada tahun 1875, didesa Udfu, Jazirah Arqu,
Dongula, Sudan. Ayahnya adalah seorang lulusan Universitas Al-azhar yang
bernama Jabir bin Abdullah Al-ansari. Pada tahun 1875 ia mengikuti pendidikan
tradisional di Sudan dan melanjutkan studi di Universitas Al-azhar. Tahun 1896,
ia pergi ke Madinah dan tinggal selama empat tahun untuk belajar agama.
Jami’at Khair dibawah pimpinan Soorkati mengalami
kemajuan pesat dengan didirikannya dua madraah di Krukut dan Pekojan, dan satu
di Bogor. Muridnya pun tidak hanya berasal dari daerah sekitar, tetapi juga
dari dareah Batavia dan Sumatera.
Setelah dua tahun aktif di Jami’at Khair terjadi
etegangan Antara Soorkati dan pengurus Jami’at Khair berawal dari lawatan
Soorkati keliling Jawa Tengah pada tahun 1913. Soorkati singgah di kediaman
Alhamid di Solo. Saat bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan seorang
syarifah dengan pria non alawi, Soorkati menjawab perkawinan itu dibolehkan
menurut hukum syar’I yang adil. Jawaban Soorkati ini dianggap telah menghina
golongan alawi.
Akhirnya Soorkati
menyadari bahwa organisasi ini didominasi oleh golongan Sayyid yang menganggap
dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan keturunan Ali dan Fatimah yang
memiliki kemuliaan dan kedudukan lebih tinggi dari yang lainnya, sebagai
manusia pilihan Allah SWT yang diberi hak untuk memberi syafaat dan menjadi
wasilah Antara manusia dan Tuhan, sehingga mereka meminta penghormatan, seperti
adanya taqbil ( mencium tangan para sayyid kapan dan dimana pun ketika bertemu
), wanita alawi tidak boleh menikah dengan pria non-alawi[5].
Soorkati yang merasa dirinya tidak disukai pun
mengeluarkan diri dari Jami’at Khair. Pada tahun yang sama atas dukungan pemuka
Hadrami non-alawi ia membuka madrasah
AL-Irsyad Islamiyah, ia juga menyetujui pendirian organisasi yang menaunginya
yaitu Jam’iyah Al-islah wa Al-irsyad Al-islamiyah pada tanggal 6 September
1914. Kemajuan Al-irsyad mengalami kemajuan, sedangkan Jami’at Khoir mengalami
kemunduran.
Pembentukan Al-irsyad ditujukan kepada golongan Arab
Hadrami bahwa tafaddul ( kemuliaan ) tidaklah didasari pada keturunan,
melainkan pada ilmu, amal, dan takwa. Ia menentang taklid buta, khufarat, dan
bid’ah dalam berbagai bentuk keyakinan dan keagamaan yang dihubungkan dengan
orang tertentu dari keluarga Alawi.
Karena itulah Al-irsyad bergerak dalam bidang pendidikan formal, tujuan
kedepannya adalah :
1. Memperbaiki kondisi keberagaman dan sosio-ekonomi umat
islam, khususnya golongan arab dengan mendirikan madrasah, panti asuhan dan
rumah sakit.
2. Menyebarkan reformasi islam diantara para muslim melalui
tulisan, publikasi, diskusi, kelompok studi dan tablig.
- . Muhammadiyah
Organisasi ini bergerarak dalam bidang pendidikan,
dakwah, dan kemasyarakatan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah :
1. Untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala
bidang kehidupan yaitu dengan menerapkan pengajaran Nabi Muhammad.
2. Membebaskan dari praktek-praktek Agama yang menyimpang
dari kemurnian Islam yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi.
Saat itu Islam dipengaruhi sifat fatalism, bid’ah,
khufarat, dan konservatisme yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan
sosial dan ekonomi masyarakat muslim di Indonesia. Muhammadiyah tampil untuk
memperjuangkan nasib umat islam dan memajukan kehidupan keagamaan umat islam.
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mengadakan rapat-rapat, tabligh,
mendirikan masjid, menerbitkan buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Melihat pendidikan Islam yang sangat tradisional,
akhirnya Muhammadiyah memutuskan untuk memperbarui system pendidikan islam secara
modern sesuai dengan kondisi zaman. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan
dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sekolah-sekolah umum yang
didalamnya diberi pengetahuan umum dan pengetahuan agama.[7]
KH. Ahmad Dahlan berusaha untuk memurnikan ajaran Islam
dari takhayul, bid’ah, dan khufarat. Muhammadiyah kemudian menetapkan beberapa
hal dalam pengajarannya, seperti penentuan arah kiblat secara eksak, penggunaan
metode hisab untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa Ramadhan,
penyelenggaraan shalat hari raya di lapangan, pengumpulan dan pembagian zakat
fitrah dan daging kurban, penyamapaian khutbah dalam Bahasa yang dimengerti
jama’ah, pelaksanaan shalat Jum’at dan tarawih berdasarkan sunnah Nabi Muhammad
SAW, penghilangan beduk dari masjid, peniadaan
ziarah kubur kepada tokoh yang dianggap keramat, penyederhanaan syukuran
kelahiran, khitanan, perkawinan dan pengurusan jenazah.
Hingga tahun 1920, Muhammadiyah mulai menyebar dan
memiliki cabang dibeberapa kota Surakarta, Surabaya, Madiun, Pekalongan, Garut
dan Jakarta. Sewafatnya Ahmad Dahlan pada tahun 1923, kepemimpinannya
digantikan oleh sahabatnya KH. Ibrahim. Pada periode ini Muhammadiyah menyebar
keluar Jawa dan sampai akhirnya keseluruh Nusantara.
Organisasi ini memiliki peranan yang sangat penting dan
mempunyai dampak yang paling luas diseluruh Indonesia. Walaupun pada mulanya
organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan terutama dari kaum adat dan
ulama tradisional karena dianggap telah keluar dari ahlussunah wal jama’ah .
akan tetapi lambat laun masyarakat menerima pembaruan keagamaan dan inovasi
yang dilakukan Muhammadiyah. Selain itu perkembangan Muhammadiyah didukung
faktor lain seperti cara dakwah mereka yang cenderung toleran, kegiatan sosial
yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan sebagai organisasi tandingan
terhadap aktivis misionaris Kristen. Muhammadiyah juga memiliki Majelis Tarjih
yang berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah
yang dipertikaikan umat islam.
5. Persatuan Islam ( PERSIS )
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagaman yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus[8].
Persis mengembangkan cita-cita dan pemikirinnya melalui
pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan
sekolah-sekolah dan menyebarkan pamflet, majalah dan kitab[9].
Dalam kegiatannya Persis mendapat dukungan dan partisipasi daru dua tokoh penting
yaitu :
1. Ahmad Hasan, seorang yang dianggap sebagai guru Persatuan
Islam sebelum perang.
2. Mohammad Natsir, seorang pemuda yang sedang berkembang
dan bertindak sebagai juru bicara dari Persatuan Islam kalangan terpelajar.
Sama halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persatuan
Islam juga memberikan perhatian besar pada kegiatan pendidikan, tabligh serta
publikasi. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan
berupa sekolah dasar, kursus, kelompok diskusi, pengajian dan pesantren. Dalam pendidikan
ini Persatuan Islam mendirikan sebuah madrasah yang awalnya dimaksudkan untuk
anak-anak dari anggota Persatuan Islam, dan kemudian madrasah tersebut dibuka
untuk umum. Madrasah ini membahas soal iman serta ibadah dengan menolak segala
kebiasaan bid’ah. Masalah yang sangat menarik pada saat itu adalah poligami dan
nasionalisme.
Selain mendirikan madrasah, Persatuan Islam juga
mendirikan Pesantren Persatuan Islam pada bulan Maret 1939 di
Bandung. Dengan harapan untuk membentuk
kader-kader yang mempunyai keinginan untukmenyebarkan agama, usaha ini
merupakan inisiatif Hasan. Kemudian Pesantren ini dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.
Setelah pesantren dibuka di Bangil, maka muridnya bertambah dari kepulauan
Indonesia. Pada tahun 1941dibuka pesantren bagian perempuan. Dan kedua
pesantren ini berjalan baik.[10]
Persis dan Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama namun
memiliki beberapa perbedaan, yaitu :
No
|
Muhammadiyah
|
Persis
|
1
|
Muhammadiyah
sangat giat dalam membentuk banyak cabang.
|
Persis tidak
terlalu giat dalam membentuk banyak cabang
|
2
|
Muhammadiyah
berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian dibina orang tersebut dalam
organisasi
|
Persis
membina dahulu diluar, jika dianggap sudah pantas baru direkrut menjadi
anggota
|
3
|
Lebih
mengutamakan aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan
|
Lenih
mengutamakan dakwah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh,
menerbitkan buku, mengadakan diskusi umum dan lain-lain.
|
Tidaklah mengherankan jika organisasi Persis jauh lebih
kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan
Islam hanya memiliki 200 cab
ang diseluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah
dan pesantren[11].
- Serikat Islam
Serikat Islam adalah organisasi rakyat terbesar pada awal
abad ke-20. Sejarah pendirian organisasi ini, para sejarahwan berbeda pendapat
mengenai tahun dan tokoh penggagasnya. Takashi Siraishi seorang sarjana Jepang
menyatakan bahwa Serikat Islam berasal dari sebuah organisasi yang bernama
Rekso Roemekso yang dibentuk H. Samanhudi dan para pengikutnya pada tahun
1868-1958. Rekso Roemekso terbentuk karena adanya persaingan perdagangan batik
Antara pedagang Jawa dan Cina. Organisasi
ini dibentuk untuk membela kepentingan pengusaha pribumi yang merasa
dirugikan, karena pemerintah Hindia Belanda memberikan monopoli kepada para
pedagang Cina dalam menyediakan bahan baku dan pemasaran batik. Akhirnya Rekso
Roemekso memutuskan untuk mengganti nama dengan Partai Serikat Islam tahun 1923
organisasi ini mengarah pada bidang politik dan merupakan organisasi politik
pertama di Indonesia.
Tujuan Serikat Islam, adalah :
1. Memajukan semangat dagang kalangan bumiputra
2. Memberikan bantuan kepada para anggota perkumpulan
3. Memajukan pendidikan rohani bumiputra
4. Menghilangkan salah pengertian mengenai agama islam
5. Memajukan kehidupan keagamaan dikalangan bumiputra.
Keanggotaan Serikat Islam tidak dibatasi di Pulau Jawa
saja, namun terbuka untuk pribumi muslim
diseluruh Tanah Air. Ketika SI berpindah dari Surakarta ke Surabaya, SI
dipimpin oleh orator ulung yaitu H. Oemar Said Tjokroaminoto tahun 1882-1934,
daan lambat laun H. Samanhudi yang menggagas organisasi ini mulai tergeser dan
hanya memimpin sampai tahun 1916.
SI terus melakukan propaganda melalui media cetak dan
rapat umum sehingga dalam waktu kurang dari setahun SI sudah tersebar luas. Hal
ini terbukti dengan berdirinya beberapa cabang di Kudus, Bandung, Surabaya,
Madiun, Ngawi, Ponorogo, dan Semarang yang terdiri dari ribuan anggota. Anggota
inti SI adalah golongan pedagang, kaum agamawan, dan kebanyakan rakyat.
Keangotaan SI yang begitu massif ini sangat
mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, karena pidato Tjokroaminoto dalam
setiap pertemuannya selalu membakar semangat massa. Sehingga sering terjadi
kerusuhan sosial. Tercatat banyak terjadinya kerusuhan sosial yang ditimbulkan
dari sikap fanatic dan radikal pengikut SI, sepert pemogokan buruh,
penyerangan, pembakaran dan insiden pembunuhan terhadap golongan Cina dan
Eropa.
Walaupun adanya banyak hambatan dalam perkembangan SI, SI
tetap berkembang pesat, ada beberapa faktor yaitu :
1. Pemakaian nama Islam untuk organisasiini cukup membuat
penduduk yang mayoritas muslim merasa harus mendukung Serikat Islam.
2. Serikat Islam merupakan organisasi masyarakat pribumi
yang menganut paham sama rata sama rasa . dalam paham ini SI tidak
membeda-bedakan status sosial.
3. Adanya sikap anti Cina dan anticolonial Eropayang secara
tidak langsung dimiliki SI dan kemudian ditiup untuk menarik anggota baru.
4. Adanya harapan millenaristis dan messianistis didalamnya.
Sejak berganti nama PSI
berusaha menjalankan politik hijrah semacam politik non-kooperasi yang berarti
menolak sama sekali kerjasama dengan pemerintah. Tokoh PSI mengajak
Muhammadiyah untuk menolak subsidi yang diberikan pemerintah Belanda bagi
sekolah Muhammadiyah, akan tetapi usulan itu ditolak karena bagi Muhammadiyah
subsidi itu berasal dari uang umat islam yang diambil Belanda sehingga harus
dimanfaatkan kembali untuk pendidikan umat Islam.
Hubungan SI dan Muhammadiyah pun semakin merenggang. Pertentangan
semakin meruncing dengan adanya kritik PSI kepada Muhammadiyah yaitu :
1.
Muhammadiyah
lebih takut kepada presiden daripada kepada Allah SWT
2.
Muhammadiyah
lari dari politik dan tidak mau melawan penjajah
3.
Muhammadiyah melakukan hal yang haram dengan
meminjam uang dengan bunga.
4.
Keislamana
Muhammadiyah mulai dipertanyakan karena sikapnya yang non-politik dan tidak
berjuangmelawan penjajah yang kafir.
Tahun 1926, PSI mengintruksikan anggotanya untuk meninggalkan
Muhammdiyah atau anggota akan dikeluarkan dari PSI jika tidak menaati disiplin.
Namun ternyata tindakan itu merugikan PSI sendiri sebab banyak anggota yang
justru memilih Muhammadiyah dan meninggal PSI. mulai saat itu PSI mengalami
kemunduran yang disebabkan beberapa hal :
1.
Anggota
Muhammadiyah tidak lagi menjadi anggota PSI.
2.
Timbulnya
partai politiklain yang lebh menarik hati rakyat, yaitu Partai Nasional
Indonesia.
3.
Politik
hijrah yang dijalankan PSI semakin diawasi oleh Belanda
Sekali lagi pada tahun 1929 PSI berganti nama lagi menjadi Partai
SerikatIslam Indonesia ( PSII ). Namun perpecahan terus menerus terjadi pada
PSII menyebabkan partai ini semakin ditinggalkan sebagian umat besar Islam[12]
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Setelah menelaah kembali asal-usul
dan perkembangan dari setiap organisasi pembaharu dalam berbagai bidang, dapat
diambil kesimpulan bahwa setiap organisasi mempunyai visi misi yang sama dalam
membaharui Indonesia baik dari segi agama, pendidikan dan politik kearah yang
lebih maju, untuk mengejar berbagai ketinggalan-ketinggalan Negara sekutu.
Tidak dapat dipungkiri system pembaharu dalam berbagai bidang ini memunculkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia sendiri.
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran,
dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam yang ada sebelumnya.
Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militant,
radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut
memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan
visi, yakni pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan
penerapan syariat islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.
DAFTAR
PUSAKA
- Al-Hafni, Abdul Mun’im, Ensiklopedia
Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta
: Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ).
- Hasan, Muhammad Thalhah, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, ( Jakarta : Lantaroba Press, 2005) .
- Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1982 ).
- Ensiklopedia
Islam ( Jakarta
: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 ).
- Mansur,
Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta :
Departemen Agama RI, 2005 )
- Nizar Samsul, Sejarah
Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana,
2007 )
[1]
Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab,
Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal
914-917.
[2]
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi
NU, ( Jakarta : Lantaroba Press,
2005) , hal 11.
[3]
Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab,
Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal 914-917
[4]
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007 ), hal
322.
[5] Ensiklopedia
Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )
[6]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 84.
[7]
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007)
[8]
Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta :
Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.
[9]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 95.
[10]
Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta :
Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.
[11]
Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999
[12] Ensiklopedia
Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )
Komentar